YANG TERASING-10


YANG TERASING

JILID 10

kembali | lanjut

YT-10AKU dahulu tidak pernah dapat melihat lembaran dedaunan didalam gelap begini” katanya didalam hati.

Sebenarnyalah bahwa bermacam-macam latihan yang diberikan oleh Kiai Pucang Tunggal langsung dapat mempengaruhi panca indera, Wiyatsih merasa bahwa penglihatan, pendengaran, penciuman, peraba dan pengenyamnya menjadi bertambah tajam.

Sejenak kemudian setelah beberapa kali ia menarik nafas menghirup sejuknya udara malam, maka iapun segera meninggalkan tempat itu. Namun seperti tidak disadarinya, ia tidak masuk pintu butulan, tetapi ia langsung pergi ke pendapa.

“Kau belum tidur?” salah seorang penjaga regolnya bertanya dengan heran.

Wiyatsih menggelengkan kepalanya.

“Apakah kau baru selesai berlatih?”

Wiyatsih tidak menjawab sama sekali.

Kedua penjaga itu mengamat-amati pakaiannya sejenak, lalu salah seorang dari mereka berkata, “Pakaianmu bukan pakaian yang biasa kau pakai untuk berlatih. Darimana kau sebenarnya?”

“Sebenarnya aku memang ingin berlatih” berkata Wiyatsih.

“Kenapa sebenarnya?”

“Aku tidak mengenakan pakaian latihanku”

“Ambillah. Mari kita berlatih” ajak kedua penjaga itu, “bukankah masih belum terlampau malam.

Wiyatsih menarik nafas dalam-dalam. lalu katanya, “Besok saja. Aku sedang malas. Sehari penuh aku berada di pinggir Kali Kuning menimbun berunjung-berunjung itu”

Kedua penjaga itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Baiklah, jika demikian tidurlah. Kami akan berjaga-jaga dipendapa”

“Jangan lengah”

“Sebenarnya kami tidak berarti apa-apa disini. Di rumah ini ada kau dan ada Pikatan. Apakah artinya kami berdua?”

“Jangan terlampau merendahkan diri. Kalian yang jaga disini. Kalianlah yang bertanggung jawab”

Keduanya mengangguk-angguk. Tetapi salah seorang berkata, “Meskipun demikian bukan kamilah yang menyelesaikan persoalan yang dapat timbul di rumah ini”

Wiyatsih tersenyum. Katanya, “Sudahlah. Aku akan tidur” Wiyatsih pun meninggalkan pendapa rumahnya. Tetapi ia terpaksa melingkar lagi dan masuk kerumahnya lewat pintu butulan.

Ternyata bahwa seisi rumahnya agaknya sudah tidur. Pintu bilik ibunya sudah tertutup dan pintu bilik Pikatan pun sudah tertutup pula. Pikatan memang selalu tidur saat malam menjadi gelap. Tetapi kemudian ia terbangun menjelang tengah malam dan berlatih sampai pagi.

Dalam pada itu, Kiai Pucang Tunggal yang berada dibalik tanggul, berhasil melihat kedua orang yang menunggu Wiyatsih. Tetapi karena Wiyatsih tidak juga datang, maka salah seorang dari mereka berkata, “Marilah. kita kembali. Ia belum berhasil membujuk kakaknya datang kemari”

“Setan alas, ia membohongi kita”

“Bukan maksudnya, tetapi Pikatan memang sudah terpisah dari setiap orang itu pasti sulit dibujuknya. Biarlah aku tidak tergesa-gesa”

“Tetapi apakah setiap malam kita harus menunggunya disini?”

Kawannya tertawa. Katanya, “Bukankah kita dapat menjumpai Wiyatsih besok? Di sawah, di sungai, diperjalanan atau disini, bahkan dimana saja. Kita akan dapat selalu menghubunginya. Aku tidak peduli apakah orang-orang di padukuhan ini akan mengenal kita. Mereka tidak akan berani berbuat apa-apa. Bahkan kedatangan kita yang banyak diketahui orang itu pasti akan berhasil memancing Pikatan disamping usaha Wiyatsih itu sendiri”

Kawannya tidak menyahut.

“Atau memancing sikap lain dari orang-orang Sambi Sari. Mereka tentu tidak mau melepaskan apapun juga jika kita memerlukannya sebelum kita menemukan Pikatan. Mereka tentu berkeberatan untuk menyerahkan barang-barang yang kita butuhkan. Dengan demikian maka akan timbul kekacauan di daerah ini. Adalah gila bahwa Pikatan tidak akan tergerak hatinya untuk melindungi tetangga-tetangganya. Seperti yang pernah kita dengar, banyak penjahat yang terbunuh olehnya. Dan bukankah kita juga penjahat-penjahat?”

Kawannya tertawa sambil menganggukan-angguk. Jawabnya, “Baik juga rencana itu. Tetapi kenapa kita tidak langsung saja pergi kerumahnya?”

“Aku tidak ingin diganggu oleh siapapun juga. Dirumahnya ada dua orang penjaga yang kita belum tahu kemampuannya. Menurut beberapa keterangan yang aku dengar, mereka pun mempunyai kemampuan yang cukup, sehingga akan dapat mengganggu suasana. Aku ingin bertempur seorang melawan seorang, karena aku ingin membuktikan kepada Pikatan bahwa ia bukan manusia yang lebih baik dari orang lain”

“Apalagi ia sudah cacat sekarang”

“Tidak. Bukan karena ia sudah cacat, jangan memperkecil arti tantanganku. Seandainya ia tidak cacat pun aku akan menantangnya bertempur seorang lawan seorang. Pada saat aku bertempur melawannya aku tidak banyak terpaut daripadanya. Apalagi sekarang, setelah aku berhasil memecahkan beberapa jenis ilmu yang waktu itu masih merupakan teka-teki bagiku”

Kawannya tidak segera menyahut. Hanya kepalanya sajalah yang terangguk-angguk.

“Marilah. kita pergi. Aku kira gadis itu tidak akan datang malam ini. Mungkin, karena ia tidak berhasil membujuk Pikatan, tapi mungkin gadis itu menjadi takut, setelah ia tahu siapa kita sebenarnya. Setidak-tidaknya ia tahu bahwa kita bukan sahabat yang baik bagi Pikatan”

Demikianlah maka keduanya pun meninggalkan tempat itu, sambil berjalan kawannya masih berkata, “Jika kau datang kerumahnya, biarlah aku yang mengurusi kedua penjaga itu. Bukankah dengan demikian kau dapat berkelahi melawan Pikatan”

“Maksudku, tidak ada gangguan apapun pada perkelahian itu. Jika ada orang diantara kita dan orang-orang Sambi Sari, mereka harus berdiri melingkari arena, menonton perkelahian yang sedang berlangsung itu”

“Sebuah perang tanding”

“Ya”

“Apakah kau tidak berkeberatan jika aku datang kerumahnya menyampaikan tantanganmu itu langsung kepada Pikatan?”

“Akan aku pikirkan, Tetapi jika ia datang menemui aku. Aku akan mengajukan beberapa syarat untuk perang tanding itu. Jika ia tidak mau datang, kita pikirkan kemudian. Mungkin cara yang aku tempuh masih berubah-ubah menurut perkembangan keadaan”

Kawannya tidak menyahut lagi. Sementara itu mereka pun menjadi semakin jauh. Ketika mereka berbicara lagi. suaranya sudah tidak dapat didengar oleh Kiai Pucang Tunggal meskipun ia memiliki pendengaran yang sangat tajam.

Kiai Pucang Tunggal menarik nafas dalam-dalam. Ia pun kemudian berdiri tegak sambil bertolak pinggang. Yang tampak olehnya kini adalah timbunan brunjung-brunjung bambu dan batu yang teronggok di tepian.

“Mereka benar-benar akan membuat penyelesaian yang tuntas” berkata Kiai Pucang Tunggal didalam hati, “dan agaknya orang itu cukup menanggapi keadaan. Tetapi yang akan menjadi korban adalah rakyat Sambi Sari. Jika orang-orang kehabisan bekal, mereka akan benar-benar mulai dengan cara yang dikatakannya itu”

Sejenak Kiai Pucang Tunggal termangu-mangu, masalah yang akan terjadi di Sambi Sari bukannya masalah yang dapat dianggap kecil. Meskipun persoalan yang sebenarnya adalah persolan Pikatan dengan orang itu, namun pasti akan menyangkut beberapa pihak yang sebenarnya tidak tahu menahu persoalannya, Wiyatsih, orang-orang Sambi Sari, dan bendungan itu yang sudah diancam akan dirusak jika Wiyatsih tidak berhasil membawa Pikatan”

“Orang itu tentu akan. menjumpai Wiyatsih dimanapun” berkata Kiai Pucang Tunggal. Untuk beberapa lamanya Kiai Pucang Tunggal masih berdiri ditempatnya. Namun sejenak kemudian ia pun mulai melangkahkan kakinya. Sekali-kali ditengadahkan kepalanya memandang bintang gemintang yang bergayutan di langit yang bersih.

“Musim hujan memang sudah jauh berkurang” katanya kepada diri sendiri. Lalu, “Anak-anak itu pasti akan segera mulai dengan bendungannya”

Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Kiai Pucang Tunggal berjalan terus. Ia sudah berjanji dengan Puranti untuk bersama-sama melihat Pikatan berlatih jika ia melakukannya. Bukan saja sekedar melihat, tetapi juga mengawasi jika terjadi sesuatu atasnya karena kehadiran orang-orang yang sengaja mencarinya.

“Jika Pikatan tidak segera menyelesaikan persoalannya. hal ini akan berlangsung lama” berkata Kiai Pucang Tunggal didalam hati, “dan aku akan terpaksa berkeliaran setiap malam. Seperti hidup kelelawar. Tidur di siang hari dan keluar dimalam hari”

Tetapi bagi seorang tua seperti Kiai Pucang Tunggal yang sudah terlampau biasa mesu diri dan berprihatin, hal itu tidak membuat kesulitan baginya.

Di tempat yang sudah dijanjikan, ternyata Puranti telah menunggunya. Bahkan gadis itu sempat berbaring di rerumputan di sela-sela sebuah gerumbul yang rindang.

“O” iapun bangkit ketika ayahnya mendekatinya, “apakah ayah berhasil melihat mereka?”

“Ya”

“Mereka benar-benar menunggu Wiyatsih?”

“Ya”

“Apakah yang mereka lakukan setelah mereka yakin bahwa Wiyatsih tidak datang?”

“Mereka pergi” jawab Kiai Pucang Tunggal, “lalu diceritakannya apa yang telah dilihat dan didengarnya.

Puranti mengangguk-anggukan kepalanya. Tiba-tiba saja ia berkata, “Akulah yang wajib menjadi sasaran dendamnya. Biarlah aku menemuinya dan melayani tantangannya. Bukan Pikatan”

Tetapi ayahnya menggelengkan kepalanya.

“Kenapa ayah?”

Ayahnya menarik nafas dalam-dalam. Tatapan matanya hinggap pada bayangan pedukuhan yang hijau hitam dikejauhan.

“Puranti” berkata Kiai Pucang Tunggal, “sebenarnya sudah lama aku ingin bertanya kepadamu. Tetapi bukan maksudku untuk menggelisahkanmu. Aku ingin kau menjawab pertanyaan-ku sejujur-jujurnya”

“Apakah ada persoalan padaku ayah?”

“Tentu ada Puranti”’

“Dalam hubungan dengan siapa?” Puranti mulai curiga.

“Puranti, kau adalah seorang gadis yang sudah dewasa. Yang bahkan dapat disebut sudah dewasa. Sudah tentu kau tidak akan hidup seperti sekarang. Seperti seekor burung yang terbang dari satu dahan ke dahan yang lain. Pada saatnya kau harus membuat sarang. Nah, disitulah kau akan menetap. Kau harus menghentikan petulanganmu ini meskipun bukan berarti kau harus berhenti pula mengabdikan dirimu kepada sesama”

Wajah Puranti menjadi merah. Ia mengerti kemana ayahnya akan berbicara. Namun ia masih tetap berdiam diri.

“Karena itu Puranti, sebagai seorang ayah, aku berpikir apa yang akan kau hadapi kelak”

“Waktu masih panjang bagiku ayah”

“Mungkin kau benar, tetapi waktu itu akan sampai pula menelanmu. Karena itu kau harus sudah mulai memikirkannya”

“Pada saatnya aku akan memikirkannya”

Tetapi Kiai Pucang Tunggal menggelengkan kepalanya. Katanya, “Sebagai seorang ayah, Puranti. Sebenarnya aku dapat merasakan getaran di dadamu. Tetapi kau adalah seorang gadis. Seorang gadis memang mempunyai beberapa perbedaan dari seorang anak laki-laki”

“Tidak ayah. Tidak ada perasaan apa-apa padaku”

“Perasaan apa yang kau maksud? Aku belum mengatakan apa-apa”

“O” wajah Puranti menjadi merah dan menunduk dalam.

“Puranti, sebaiknya kau jawab pertanyaan ayah ini dengan jujur, supaya ayah dapat mengambil sikap yang benar”

Puranti tidak menyahut.

“Sebagai seorang gadis, Puranti. Apakah hatimu pernah tergerak oleh seorang anak laki-laki?”

Pertanyaan itu benar-benar telah mendebarkan jantungnya. Karena itu, Puranti tidak segera dapat menjawab.

“Sebenarnya aku sudah tahu jawabannya. Tetapi kaulah, yang harus mengatakannya” sambung ayahnya.

Puranti mengatupkan giginya rapat-rapat. Kemudian jawabnya menyentak, “Tidak, tidak pernah”

“Baiklah Puranti” suara ayahnya menjadi dalam dan berat, “jika itu jawabmu, sebaiknya kita kembali ke Pucang Tunggal. Tidak ada gunanya kita berada disini, Wiyatsih yang langsung atau tidak langsung menjadi muridmu itu, sudah cukup banyak menguasai pokok-pokok tata gerak ilmu yang dipelajarinya, sehingga ia sudah mempunyai kesempatan untuk mengembangkannya”

“Ayah” tiba-tiba suara Puranti parau.

“Ya, sebaiknya kita pulang”

“Tetapi, bagaimana dengan orang yang mendendam itu?”

“Itu bukan urusan kita, Biarlah mereka berurusan langsung dengan Pikatan”

“Tetapi Wiyatsih?”

“Ia akan dapat melindungi dirinya sendiri. Orang itu agaknya tidak akan berbuat apa-apa atas Wiyatsih”

“Tidak. Aku tidak sampai hati melepaskan Wiyatsih didalam keadaan serupa ini”

“Aku akan berpesan kepadanya, agar ia jangan mencampuri persoalan Pikatan. Jika Wiyatsih dapat menjaga dirinya dan sikapnya, ia tidak akan terlibat”

“Tidak ayah, tidak”

“Kenapa Puranti? Kau harus memikirkan dirimu pula. Kau sudah dewasa penuh. Sebentar lagi kau akan menjadi perawan tua. Karena itu, marilah pulang. Ayah sudah menerima beberapa lamaran. Kau dapat memilih salah seorang dari mereka. Karena itulah ayah mencarimu kemari”

Terasa dada Puranti berdesir. Dipandanginya ayahnya tajam. Sejenak ia justru mematung.

“Sudah sepantasnya kau melakukannya Puranti”

Puranti menjadi semakin tegang. Namun tiba-tiba ia menutup wajahnya dengan kedua belah tangannya, “Tidak ayah. Aku tidak akan segera pulang. Aku tidak akan, pulang”

“Apakah yang kau tunggui disini? Sudah aku katakan. jika kau memang tidak sampai hati meninggalkan Wiyatsih, aku akan berpesan, kepadanya, agar ia tidak terlibat dalam kesulitan”

“Ayah” suara Puranti parau, “aku ingin, tinggal disini”

Kiai Pucang Tunggal menarik nafas dalam-dalam. Lalu, “Baiklah Puranti. jika kau masih ingin tinggal disini. Tetapi berilah aku hak untuk menerima lamaran salah seorang dari mereka supaya aku tidak selalu dirisaukan oleh tamu-tamu yang selalu bertanya tentang kau. Jika mereka tahu bahwa salah seorang dari mereka sudah aku terima, maka mereka tidak akan mengganggu aku lagi”

Puranti tidak menjawab. Tetapi tiba-tiba saja air matanya meleleh di pipinya. Bagaimanapun juga ia adalah seorang gadis yang peka terhadap masalah-masalah seperti yang dikatakan oleh ayahnya. Meskipun Puranti adalah seorang petualang yang tidak gentar menjelajahi hutan, lembah dan ngarai. namun pada akhirnya ia harus dihadapkan pada persoalan yang sangat rumit itu. Jauh lebih rumit daripada menghadapi ujung-ujung senjata macam apapun.

Ayahnya pun tidak mendesaknya lagi. Dengan sabar ia duduk menunggu sampai perasaan Puranti menjadi reda.

“Ayah” suara Puranti sendat, “ayah sebaiknya tidak berkata begitu kepadaku”

Ayahnya mengerutkan keningnya.

“Kenapa?” ia bertanya.

“Bukankah ayah sudah mengatakan, bahwa sebenarnya ayah sudah mengetahui perasaanku? Sudah mengetahui jawaban pertanyaan yang ayah berikan itu didalam hatiku”

Ayahnya menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya wajah anak gadisnya yang suram dan basah. Sehingga kemudian timbullah perasaan ibanya. Namun kemudian ia masih berkata, “Aku mula-mula merasa bahwa aku mengetahui perasaanmu Puranti. Tetapi ternyata jawabanmu berbeda dengan dugaanku”

Puranti menundukkan kepalanya dalam-dalam, “Puranti, kehadiranmu di daerah ini memantapkan dugaanku. Aku kira kau datang dengan suatu tujuan yang paling dalam menjelang hidupmu masa mendatang. Tetapi yang aku jumpai justru ungkapan dendam yang tiada taranya. Aku menjadi cemas melihat kau melatih diri, yang menurut penilaianku, telah merampas segala waktumu. Hanya orang yang dikejar orang oleh dendam sajalah yang memaksa diri seperti yang kau lakukan. Dan aku menduga bahwa kau dan Pikatan telah berpacu untuk berebut unggul”

“Ayah” Puranti yang sudah mulai mengeringkan air matanya itu menangis kembali.

“Jangan menangis Puranti. Bukankah kau tidak pernah menangis” berkata ayahnya lirih hampir ditelinganya.

Puranti mengangguk. Tetapi air matanya masih juga mengalir.

“Marilah kita berkata sebenarnya. Marilah kita melihat kedalam diri dengan jujur. Sebenarnya aku telah berusaha memaksamu untuk mengatakan perasaanmu. Aku telah membohongimu. Tidak ada orang yang datang melamarmu meskipun aku sudah mendengar, bahwa ada beberapa orang tua yang memang sudah menyebut-nyebut namamu. Tetapi mereka belum datang ke padepokan kita. Aku ingin memancing agar kau mengatakan perasaanmu yang sebenarnya” Kiai Pucang Tunggal berhenti sejenak, lalu, “Nah, aku sudah berterus terang. Selanjutnya terserah kepadamu Puranti.

Puranti mencoba untuk tidak menangis. Tetapi dari pelupuknya masih saja mengembun air matanya yang bening.

“Apakah kau dapat juga berkata sejujurnya?”

“Ayah” berkata Puranti dengan suara yang dalam, “sebenarnya aku telah dicengkam oleh perasaan yang paling bertentangan. Jika ayah ingin melihat warna hatiku yang sebenarnya aku kira ayah memang sudah melihatnya. Aku memang datang kemari karena Pikatan. Tetapi karena hatinya yang terlampau tinggi, aku juga mendendamnya. Aku mencintainya sekaligus membencinya. Aku harus mengalahkannya. Ia harus sadar bahwa ia tidak akan dapat melampaui kemampuanku meskipun aku seorang gadis” Puranti berhenti sejenak, lalu, “Ayah, apakah selamanya laki-laki harus lebih baik dalam segala hal dari seorang perempuan?”

“Tentu tidak Puranti” jawab ayahnya, “tidak. Tidak selamanya seorang laki-laki harus menang atas seorang perempuan”

“Kenapa Pikatan merasa dirinya seorang laki-laki yang harus tidak terkalahkan, apalagi oleh seorang perempuan? Kenapa ia tidak mau mengakui kegagalannya dan bahwa akulah yang telah menolongnya dan menyelamatkannya? Ia harus sadar bahwa didalam perguruan, aku adalah saudara tuanya meskipun umurnya lebih tua dari umurku. Dan ia harus sadar bahwa saudara muda didalam perguruan pasti tidak akan dapat menyamai dan apalagi melampaui kemampuan saudara tuanya, meskipun ia seorang perempuan”

“Puranti” suara ayahnya menjadi dalam, “apakah saudara tua seperguruan harus lebih unggul dari saudara mudanya?”

“Tentu ayah. Yang tua belajar lebih dahulu. Semisal orang yang pergi kearah yang sama, yang tua berangkat lebih dahulu”

“Tetapi bagaimanakah jika yang berangkat kemudian berjalan lebih cepat dari yang dahulu?”

“Tidak, aku berjalan jauh lebih cepat dari Pikatan”

Puranti terkejut ketika tiba-tiba saja ia mendengar ayahnya tertawa pendek. Dengan dahi yang berkerut-merut ia bertanya, “Kenapa ayah tertawa?”

“Puranti” berkata ayahnya, “jika demikian, apakah bedanya kau dan Pikatan yang terlampau memanjakan harga dirinya?”

Pertanyaan itu mengejutkan Puranti pula. Namun kepalanya justru menjadi tunduk dalam-dalam. Sambil bermain-main dengan pasir dibawah kakinya ia mencoba untuk mencari jawaban pertanyaan itu. Beberapa lamanya ia merenungi dirinya sendiri dan mencoba menilai, apakah yang telah dilakukannya.

Kiai Pucang Tunggal yang melihat gejolak didalam dada anak gadisnya itupun terdiam untuk beberapa saat. Dibiarkannya anaknya mencoba mencernakan perasaannya itu.

Untuk beberapa saat keduanya duduk saling berdiam diri. Tetapi kini wajah Puranti telah menjadi kering. Air matanya tidak lagi menitik dari pelupuknya.

“Marilah kita pergi” tiba-tiba saja ayahnya berkata, “bukankah kita akan melihat Pikatan dan mencoba melindunginya jika ia diganggu oleh orang yang sedang mencarinya itu”

Puranti mengangguk lemah, “Marilah ayah”

Keduanya pun kemudian pergi meninggalkan tempat itu. Dengan hati-hati mereka mendekati tempat Pikatan berlatih hampir setiap malam.

Ternyata malam itu Pikatan meninggalkan rumahnya ditengah malam seperti biasanya. Dengan demikian, maka kedatangannya di tempat latihannya, justru lebih dahulu dari Kiai Pucang Tunggal dan Puranti, karena keduanya terlibat dalam pembicaraan yang bersungguh-sungguh, sehingga mereka tidak ingat lagi akan waktu.

Perlahan-lahan mereka merayap mendekati tebing dibawah mereka. Pikatan sedang berlatih dengan segenap hati. Dengan kecepatan yang luar biasa ia berlompatan bukan saja diatas tepian, tetapi juga berloncatan dari satu yang satu ke batu yang lain.

“Kecepatannya semakin bertambah-tambah” berkata Kiai Pucang Tunggal didalam hati, hampir bersamaan dengan gerak hati Puranti. Tetapi keduanya tidak mengucapkan kata-kata apapun juga. Dengan telaten keduanya menunggu Pikatan berlatih Setelah membiasakan kaki dan tangan kirinya bergerak cepat dan kemudian mengayun-ayunkan senjata, maka Pikatan mulai mempertinggi kemampuan kekuatan tenaganya. Dengan tenaga cadangan yang ada didalam dirinya, yang pada umumnya tidak dikenal bagi kebanyakan orang, Pikatan mampu memecahkan batu-batu padas.

Kiai Pucang Tunggal berpaling ketika ia mendengar Puranti menarik nafas. Namun yang kemudian seolah-olah tertahan.
Tetapi keduanya masih tetap berdiam diri. Jika mereka saling berbisik, maka ada kemungkinan bahwa suara mereka dapat didengar oleh Pikatan.

Demikianlah keduanya menunggui Pikatan sampai wajah langit menjadi kemerah-merahan. Sebelum Pikatan mengakhiri latihannya, maka Kiai Pucang Tunggal pun menggamit Puranti dan dengan isyarat diajaknya gadis itu pergi.

Puranti pun kemudian mengikuti ayahnya berjalan menjauhi tempat itu. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, setiap kali Kiai Pucang Tunggal berpaling memandang wajah anak gadisnya.

Puranti mengerutkan keningnya ketika ia mendengar ayahnya tiba-tiba berkata, “Puranti, aku mempunyai jalan yang dapat kau tempuh agar hubungan dengan Pikatan menjadi baik”

Puranti tidak segera menyahut.

“Tetapi aku hanya sekedar berusaha. Jika aku berhasil, syukurlah. Jika tidak, entahlah, apakah kelak aku akan dapat menawarkan jalan lain”

“Apakah yang ayah maksud? Apakah ayah akan menemuinya dan memberinya nasehat?”

“Tidak ada gunanya”

“Lalu, apakah yang akan ayah kerjakan?”

Kiai Pucang Tunggal menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Pada waktunya aku akan mengatakannya”

“Kenapa tidak sekarang saja ayah?”

Ayahnya menggelengkan kepalanya.

“Kapankah waktunya itu datang?”

Ayahnya tersenyum. Sambil menepuk bahu anak gadisnya ia berkata, “Tidak lama lagi. Tetapi seperti yang sudah aku katakan. Aku sekedar berusaha. Mudah-mudahan berhasil”

Puranti tidak bertanya lagi. Ia tahu bahwa ayahnya tidak akan dapat didesaknya.

Dalam pada itu, ketika langit menjadi semakin merah, maka Pikatan pun mengakhiri latihannya dan berjalan tergesa-gesa pulang.

Ia sampai dirumahnya disaat padukuhannya mulai terbangun. Didalam keremangan pagi Pikatan mendengar derik sapu lidi di halaman dan suara senggot timba bergerit.

Ketika matahari mulai memancar, maka mulailah kesibukan sehari-hari di padukuhan Sambi Sari. Meskipun dengan hati yang lesu. penghuninya melakukan pekerjaan mereka. Terutama memelihara tanaman di sawah yang hampir sampai waktunya untuk memetik hasilnya. Namun waktu untuk menunggu itu rasa-rasanya hampir tidak dapat mengharap bahwa besok mereka masih akan makan. Ketela yang tumbuh di kebun-kebun tidak begitu banyak memberikan hasilnya, sehingga yang dapat mereka ambil adalah akar ketela pohon sebesar batangnya yang kurus dan tidak lebih.

Dalam pada itu, diluar perhatian para petani Sambi Sari dua orang berjalan di jalan-jalan persawahan. Karena pakaian mereka yang tidak ada bedanya dengan pakaian. para petani, maka tidak banyak orang yang tertarik kepadanya. Mereka menyangka bahwa orang itu adalah orang yang datang dari padukuhan-padukuhan tetangga. Mereka sedang mengunjungi keluarga mereka di Sambi Sari atau sekedar lewat saja.

Demikian pula ketika kedua orang itu berhenti, sejenak dibawah sebatang pohon yang rindang, sekedar berlindung dari bawah sinar matahari yang mulai menggatalkan kulit.

“Itulah dia” desis yang seorang.

Yang lain pun berpaling. Dilihatnya beberapa orang gadis berjalan itu pula. Agaknya mereka sedang berangkat ke sawah. Dengan wajah yang buram dan pakaian yang sangat sederhana mereka berjalan menyusuri tanggul parit di pinggir jalan. Seorang diantara mereka yang berpakaian agak lebih baik dari yang lain dan yang tengadah memandang kedepan adalah Wiyatsih.

Ketika gadis-gadis itu lewat didepan kedua orang yang berhenti dibawah pohon itu, salah seorang dari mereka menyapa, “Wiyatsih”

Wiyatsih terkejut, sehingga langkahnya pun tertegun. Sambil tersenyum salah seorang dari keduanya berkata, “Apakah aku boleh bertanya sedikit?”

Wiyatsih menjadi ragu-ragu. Sekali dipandanginya kawan-kawannya yang terhenti pula. Namun kemudian ketika sekali lagi ia memandang wajah orang itu, hatinya pun berdesir tajam. Akhirnya ia dapat mengenal, orang itu adalah orang yang menjumpainya di dekat timbunan brunjung-brunjung itu.

Sejenak Wiyatsih berdiri tegang, namun kemudian katanya kepada kawan-kawannya, “Pergilah dahulu”

Kawan-kawannya termangu-mangu sejenak, namun mereka pun segera pergi meninggalkannya.

Sepeninggal kawan-kawannya, Wiyatsih melangkah maju mendekat. Namun ia tidak kehilangan kewaspadaan. Mungkin sesuatu dapat terjadi Jika ia harus berbuat sesuatu, maka apaboleh buat meskipun siang hari, sehingga orang-orang Sambi Sari akan dapat mengetahui tentang dirinya lebih banyak lagi. Juga ia tidak peduli, meskipun ia mengenakan selembar kain panjang.

Sambil menyingsingkan kainnya, seperti jika ia turun kedalam lumpur, ia bertanya, “Apakah keperluanmu? Aku masih mengenalmu dengan baik meskipun kau berpakaian seperti seorang petani miskin”

Orang itu tertawa. Jawabnya, “Bagiku pakaian ini tidak ada artinya. Aku dapat berpakaian seperti seorang Adipati karena aku memang memilikinya. Tetapi juga pakaian seorang petani seperti yang aku pakai ini.

“Nah, sekarang katakan, apa maksudmu?”

“He, kenapa kau menjadi garang?”

Wiyatsih mengerutkan keningnya, lalu, “Cepat, katakan. Kawan-kawanku sudah jauh”

Tetapi orang itu tertawa. Meskipun demikian ia menjawab, “Baiklah. Tetapi seharusnya kau tidak perlu bertanya lagi tentang maksudku”

“Cepat katakan, “

“Jangan marah-marah. Bukankah kau berjanji untuk datang bersama Pikatan?”

“Aku tidak berjanji. Aku hanya akan mencoba. Kakang Pikatan sama sekali tidak mau mendengar aku. Bahkan ia menjadi semakin marah-marah karena aku tidak dapat mengatakan kepadanya siapa namamu”

Orang itu mengangguk-anggukan kepalanya. Katanya, “Agaknya Pikatan memang sudah gila. Tetapi cobalah berulang kali. Katakan kepadanya, jika ia tidak datang menemui aku, aku akan menghancurkan bendungan itu jika kalian membuatnya. Bukan hanya jembatan, tetapi juga merusak parit-parit dan merampok semua orang yang berada di seluruh Kademangan Sambi Sari, termasuk ibumu dan Ki Demang bahkan Ki Jagabaya”

“Kalianlah yang sudah gila. Bukan kakang Pikatan”
Kedua orang itu tertawa. Yang seorang lagi menyela, “Kau harus meyakinkan Pikatan, bahwa ia harus menolongmu hanya untuk datang saja ke timbunan brunjung-brunjung itu. Bukankah pekerjaan itu tidak terlampau berat?. Katakan kepadanya, aku tidak akan menyakitinya. Aku tidak datang berbuat apa-apa jika memang Pikatan sudah menjadi ketakutan. Cobalah katakan kepadanya, agar ia minta maaf kepadaku. Aku akan memaafkannya dan aku akan menjadi sahabatnya yang paling baik”

Kata-kata itu ternyata telah membakar dada Wiyatsih. Namun ia sadar, bahwa ia tidak boleh bertindak tergesa-gesa. Menurut Kiai Pucang Tunggal orang ini adalah orang yang sangat berbahaya. Karena itu, maka Wiyatsih mencoba untuk bertahan sekuat-kuatnya agar ia tidak membuat pembicaraan itu menjadi semakin panas.

“Aku tidak akan dapat membujuknya lebih dari yang sudah aku lakukan. Tetapi kenapa kalian merahasiakan jati diri kalian terhadap kakang Pikatan?”

“Maksudku, agar ia menjadi ingin tahu, siapakah kami. Setidak-tidaknya ia ingin membuktikan, apakah orang yang menunggunya itu benar-benar orang yang pernah berhubungan dengan dirinya dahulu”

“Tetapi ternyata kau tidak berhasil. Nah, sebaiknya katakan siapakah kalian agar kakang Pikatan tidak berkeberatan untuk memenuhi undanganmu”

Tetapi kedua orang itu hanya tertawa saja. Orang yang agaknya lebih berpengaruh dari keduanya justru berkata, “Marilah kita pergi. Biarlah ia berusaha”

“Tidak, aku tidak dapat berusaha lagi” Sahut Wiyatsih.

Tetapi orang itu masih saja tertawa dan berkata, “Kau tentu sayang kepada bendungan dan bahan-bahan yang sudah kau siapkan itu. Dan aku tidak tergesa-gesa. Aku memang dapat tinggal dimana saja untuk waktu yang tidak terbatas. Daerah disekitar Sambi Sari adalah daerah yang cukup subur bagiku meskipun daerah Sambi Sari sendiri adalah daerah yang kering. Tetapi Prambanan, Pengging dan Pajang adalah daerah yang memberikan cukup kesempatan padaku”

“Kenapa dengan daerah yang jauh itu?”

“Memang jauh. Tetapi Sambi Sari yang kering dapat aku pergunakan sebagai tempat bersembunyi jika aku sudah berhasil mendapatkan sesuatu di daerah-daerah yang subur itu, yang tentu saja hanya aku lakukan sebulan dua atau tiga kali. Yang paling banyak waktuku aku peruntukkan bagi Pikatan”

“Aku tidak mengerti, apa hubungannya semuanya itu”

“Memang tidak ada hubungannya. Tetapi sekaligus aku lakukan. Daripada aku menunggu Pikatan sambil tidur mendengkur untuk waktu yang tidak tertentu, bukankah aku dapat menunggunya sambil bekerja? Prambanan, Pengging, Pajang bahkan sampai daerah yang lebih jauh lagi memang daerah yang sering aku kunjungi. Tetapi aku sekarang sudah kehilangan tempat tinggalku yang tetap, sehingga aku harus berpindah-pindah sebelum aku menemukan rumah yang paling baik menurut kebutuhan kami.

“Aku tidak mengerti. Tetapi aku kira kalian adalah petualang-petualang yang liar”

“He” orang itu mengerutkan keningnya, “kau berani menyebut aku dengan istilah yang menyakitkan hati itu?”

“Aku tidak mempunyai istilah lain”

Orang itu mengerutkan keningnya. Sejenak wajahnya menjadi tegang, namun kemudian ia tersenyum, “Jika kau tidak terlalu cantik, kau akan menyesal”

Wiyatsih menjadi berdebar-debar. Beberapa kali ia mendengar orang itu memujinya. Dan itu adalah tanda bahaya baginya. Jika orang ini ingin mengganggu Pikatan, mungkin ia akan melakukan perbuatan yang berbahaya baginya.

“Sudahlah Wiyatsih, “ berkata salah seorang dari kedua orang itu, “pergilah ke sawah. Kau sudah mendapat gambaran terlampau banyak tentang diri kami. Mudah-mudahan Pikatan mengenalku dan datang memenuhi undanganku. Tentu saja kadang-kadang aku tidak ada di sekitar daerahmu ini jika aku sedang melakukan tugasku. Kadang-kadang daerah yang dekat jika kebutuhanku tidak mendesak, misalnya di rumah ibumu yang cukup kaya, tetapi kadang-kadang aku tentu pergi kedaerah yang jauh”

Wiyatsih tidak menjawab. Giginya terkatup rapat-rapat menahan kemarahan yang menyesak didadanya. Namun ia masih tetap menahan diri.

Ia sama sekali tidak bertanya lagi ketika kedua orang itu pergi meninggalkannya. Tetapi hatinya berdesir tajam ketika ia melihat seorang dari keduanya berpaling dan berkata sambil tersenyum menyakitkan hati, “Cantik sekali kau Wiyatsih”

Gigi Wiyatsih terdengar gemeretak. Untunglah bahwa ia masih tetap ingat pesan Kiai Pucang Tunggal, bahwa orang itu adalah orang yang sangat berbahaya.

Sepeninggal kedua orang itu, maka Wiyatsih pun dengan tergesa-gesa menyusul kawan-kawannya pergi ke sawah. Dengan tangkasnya ia berloncatan diatas pematang. Namun dalam pada itu hatinya masih saja diganggu oleh kehadiran kedua orang itu.

“Kedua orang itu akan selalu membayangi aku. Tentu hampir setiap saat sebelum mereka berhasil menemui kakang Pikatan” berkata Wiyatsih didalam hatinya. Lalu timbul pula sebuah pertanyaan, “Tetapi apakah maksudnya dengan menyebutkan Pengging, Pajang dan tempat-tempat yang jauh itu? Apakah ia ingin mengatakan bahwa ia termasuk orang yang berpengaruh didalam lingkungannya?”

Wiyatsih tidak dapat memecahkan pertanyaan itu. Dalam keadaan yang demikian ia selalu berkata dirinya sendiri, “Aku akan menyampaikannya kepada Kiai Pucang Tunggal dan Puranti”

Ketika Wiyatsih sampai di sawah, maka kawan-kawannya pun sudah mulai bekerja di sawah masing-masing yang sudah mulai membayangkan harapan. Sebentar lagi mereka akan memetik hasilnya, meskipun hasil panenan itu sebagian akan jatuh ke tangan orang-orang kaya yang sudah memberikan pinjaman kepada mereka dimasa paceklik.

“Siapakah orang-orang itu Wiyatsih?” bertanya seorang kawannya.

“Mereka adalah pedagang-pedagang yang sering datang ke rumah. Mereka berurusan dengan ibu” jawab Wiyatsih

“O, tetapi kenapa ia menemuimu ditengah bulak?” Mereka hanya bertanya, apakah ibu ada di rumah”

Kawan-kawannya tidak bertanya lagi. Mereka melanjutkan kerja mereka masing-masing. Menunggui burung, memotong daun-daun padi yang berulat dan yang lain memetik daun lembayung ditanam di pematang.

Demikianlah maka seperti yang sudah diangan-angankan, dimalam harinya semuanya itu disampaikannya kepada Kiai Pucang Tunggal untuk mendapatkan pertimbangan.

Namun selagi Kiai Pucang Tunggal mengangguk-anggukan kepalanya. “Kiai, siapakah sebenarnya orang-orang itu? Aku merasa diombang-ambingkan oleh keadaan ini. Orang itu sama sekali tidak mau menyebut dirinya sendiri, sedang Kiai yang menurut dugaanku mengetahui pula dengan pasti siapakah mereka, juga tidak mau menyebutkan namanya”

Kiai Pucang Tunggal mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambil tersenyum ia menjawab, “Jadi kau ingin mendengar namanya?”

“Ya Kiai. Aku akan dapat mengatakannya kepada kakang Pikatan supaya kakang Pikatan tidak marah kepadaku jika aku membujuknya”

Kiai Pucang Tunggal menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ia memandang wajah Puranti yang ragu-ragu.

“Kiai” desis Wiyatsih, “jika aku tidak mengetahui dengan pasti siapakah mereka, maka aku selalu dibayangi oleh bermacam-macam angan-angan yang sama sekali gelap dan menyeramkan, meskipun barangkali setelah aku mendengar namanya, aku akan menjadi semakin ngeri karenanya”

Kiai Pucang Tunggal mengangguk-anggukkan kepalanya. Setelah merenung sejenak, maka iapun berkata, “Baiklah Wiyatsih. Jika kau memang ingin mengetahui siapakah mereka. Satu diantaranya adalah lawan Pikatan selagi ia melakukan pendadaran. Orang itulah yang bernama Hantu Bertangan Api”

“O” wajah Wiyatsih menegang sejenak. Ia sudah pernah mendengar nama itu. Nama yang memang menggetarkan dadanya, “Jadi orang itulah yang bernama Hantu Bertangan Api. Sepasang Hantu Bertangan Api itu?”

“Tidak lagi sepasang. Mungkin ia mencoba membuat pasangan baru. Tetapi Hantu Bertangan Api yang satunya sudah terbunuh”

Wiyatsih mengangguk-angguk.

“Itulah sebabnya ia menyebut daerah-daerah Pengging, Pajang, Prambanan dan mana lagi, sebagai daerah yang seakan-akan telah disediakan bagi mereka”

Dada Wiyatsih menjadi berdebar-debar. Ternyata yang dihadapinya adalah orang yang menyebut dirinya Hantu Bertangan Api. Ia pernah mendengar nama itu. Dan ia tahu, bahwa karena pertempuran yang terjadi di Goa Pabelan itulah selagi Pikatan menjalani pendadaran tangannya yang kanan telah menjadi cacat.

“Wiyatsih” berkata Kiai Pucang Tunggal, “kita harus memperhitungkan kemungkinan yang terjadi pada orang yang berbahaya itu. Ia pernah dikalahkan oleh Pikatan menurut penilaian yang dimengertinya dengan baik. Jika tidak ada perubahan maka ia tidak akan datang kemari mencari Pikatan. Hantu itu pasti merasa dirinya sekarang sudah lain dari Hantu yang kalah di Goa Pabelan itu. Hantu itu tentu sudah menempa dirinya dan merasa dirinya kuat menghadapi Pikatan”

“Atau karena perhitungan yang lain” sahut Wiyatsih, “Hantu itu berani mencari Pikatan karena kakang Pikatan sekarang sudah cacat?”

“Boleh jadi. Tetapi bukankah ia mengancam akan mencari Puranti pula? Tentu ia tidak berani mencarinya jika ia tidak merasa dirinya cukup kuat”

“Mungkin ia tidak benar-benar akan mencari Puranti. Mungkin ia sekedar mengancam”

Pikatan sekarang bukan Pikatan yang dahulu lagi. Meskipun tangan kanannya menjadi cacat, tetapi kemampuannya sudah melonjak jauh. Tangan kirinya telah menjadi lebih tangkas dari tangan kanannya, bahkan sebelum tangan itu cacat. ia sekarang sudah menguasai hampir seluruh tenaga cadangan yang ada didalam dirinya”

“Jadi, apakah menurut Kiai Pucang Tunggal, kakang Pikatan dapat mengimbangi Hantu itu sekarang?”

“Tentu aku tidak dapat mengatakannya Wiyatsih. Aku belum tahu sampai dimana kemampuan Hantu itu sekarang”

Wiyatsih mengangguk-anggukan kepalanya. Tetapi ia pun merasa cemas bahwa kakaknya akan berhadapan dengan kekuatan yang jauh berada diatas kemampuannya.

Namun demikian, ia percaya bahwa tentu Kiai Pucang Tunggal tidak akan membiarkan saja jika sesuatu akan terjadi atas kakaknya yang cacat itu.

“Jadi apakah aku harus mengatakannya kepada kakang Pikatan?” bertanya Wiyatsih kemudian.

“Kiai Pucang Tunggal mengangguk-anggukan kepalanya. Jawabnya, “Ya Wiyatsih. Tetapi kau tidak usah mengatakan bahwa Hantu itu menantangnya. Kau hanya mengatakan kepadanya, bahwa Hantu itu kini berkeliaran di daerah ini. Hanya itu. Dengan demikian Pikatan akan berhati-hati, tetapi ia tidak segera mencari musuhnya itu. Jika ia mendengar bahwa Hantu itu mengundangnya, maka kemungkinan terbesar adalah bahwa Pikatan itu segera menemuinya tanpa mempertimbangkan apapun juga”

Wiyatsih mengangguk-angguk pula.

“Sementara itu apabila aku berhasil Wiyatsih, biarlah aku menjajagi kemampuan Hantu Bertangan Api itu”

“Maksud Kiai?”

“Aku ingin tahu, apakah Pikatan tidak akan terjerumus kedalam kesulitan. Jika demikian, maka aku kira kita akan mengambil jalan lain”

“Bagaimanakah Cara Kiai untuk mengetahui kemampuan Hantu itu?”

“Itulah yang sedang aku pikirkan. Tetapi kau sudah dapat mengatakannya kepada Pikatan sebelum ia pergi malam ini. Hati-hati agar kau tidak terlibat dalam pertengkaran dengan Pikatan. Jika ia menjadi marah, meskipun sebenarnya tidak harus diarahkan kepadamu, kau tidak usah menanggapinya”

Wiyatsih menarik nafas dalam-dalam. Jika dahulu kakaknya yang selalu melayaninya, juga jika ia marah-marah dan menangis, sekarang yang terjadi adalah sebaliknya. Ia lah yang harus menahan hati jika kakaknya marah-marah kepadanya.

Tetapi apaboleh buat. Selagi kakaknya terganggu keseimbangan jiwanya karena cacatnya, maka ia wajib menempatkan dirinya agar ia justru tidak membuat sakit di hati kakaknya itu menjadi semakin parah.

“Nah Wiyatsih” berkata Kiai Pucang Tunggal, “cobalah kau temui kakakmu sekarang. Mungkin ia masih belum tidur. Katakanlah dengan hati-hati”

“Baiklah Kiai, tetapi apakah Kiai bersedia tinggal disini sebentar. Aku tidak tahu apakah yang akan dilakukan oleh kakang Pikatan jika ia mendengar bahwa Hantu itu ada disini”

Kiai Pucang Tunggal mengangguk-angguk. Jawabnya, “Baiklah. Tetapi tentu aku tidak dapat berbuat apa-apa”

“Puranti mungkin dapat berbuat sesuatu”

“Itu kurang bijaksana” jawab Kiai Pucang Tunggal, “tetapi aku kira, asal kau dapat menjaga diri dan perasaanmu, maka tidak akan terjadi sesuatu”

Wiyatsih mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia masih juga berdebar-debar. Apakah ia dapat membiarkan dirinya dicaci-maki dan bahkan diumpati oleh kakaknya tanpa menjawabnya sama sekali.

“Mudah-mudahan ibu dapat meredakan persoalan ini jika timbul salah paham” berkata Wiyatsih didalam hatinya.

Malam itu Wiyatsih tidak berlatih bersama Puranti. Ia harus menemui kakaknya dan mengatakan tentang Hantu Bertangan Api.

Dengan hati yang berdebar-debar Wiyatsih masuk kembali kedalam rumahnya lewat pintu butulan, Ketika ia menjenguk ke pringgitan, ternyata ibunya masih duduk menghitung lidi.

“Darimana kau Wiyatsih?” bertanya ibunya.

“Dari kebun belakang ibu”

“Kau masih juga membuat dirimu menjadi laki-laki?”

“Tetapi agaknya bermanfaat juga bagi keluarga ini”

Ibunya menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak dapat mengingkari kenyataan bahwa Wiyatsih telah berusaha untuk menyelamatkan isi rumah ini meskipun kakaknya masih harus menolongnya.

Wiyatsih yang kemudian meninggalkan pringgitan, melangkah mendekati bilik kakaknya yang sudah tertutup. Pikatan yang hampir tidak pernah keluar dari biliknya di siang hari itu dan selalu tidur sore hari.

Namun malam itu Wiyatsih memberanikan dirinya untuk mengetuk pintu bilik kakaknya, perlahan-lahan.

Pikatan yang sebenarnya memang sudah tidur, terkejut mendengar ketukan pada daun pintunya. Sejenak ia memperhatikan suara itu, namun kemudian nalurinya telah menariknya bangkit dan meloncat berdiri disisi pembaringan dengan hati yang berdebar-debar.

Wiyatsih mendengar suara kaki kakaknya. Dengan demikian iapun menjadi berdebar-debar pula. Bagaimanakah jadinya jika kakaknya tidak dapat menahan perasaannya lagi dan berbuat kasar atasnya?.

Namun Wiyatsih sudah bertekad untuk mengatakannya apapun akibatnya. Karena itu, maka iapun mengetuk pintu itu sekali lagi.

“Siapa?” terdengar suara Pikatan menggeram, “Aku kakang. Wiyatsih”

“O” suara Pikatan menurun. Namun kemudian terdengar ia bertanya, “apa kepentinganmu Wiyatsih”

“Aku ingin berbicara sedikit kakang”

“Aku sudah mengantuk sekali. Kau mengejutkan aku”

“Aku minta waktu sedikit saja”

Pikatan termangu-mangu. Namun kemudian jawabnya, “Besok pagi saja. Apakah tidak akan ada hari lagi sehingga kau mengejutkan aku?”

“Tetapi soalnya sangat mendesak kakang.

“Tidak”

Tetapi Wiyatsih tidak segera pergi. Bahkan katanya, “Kakang boleh marah kepadaku. Tetapi hal ini penting sekali bagi kakang dan kita sekeluarga.

“Tidak. Aku mengantuk sekali”

Wiyatsih menjadi semakin berdebar-debar. Jika kakaknya benar-benar tidak mau mendengarkan, maka ia tidak akan dapat mempersiapkan dirinya jika malam nanti ia bertemu dengan Hantu Bertangan Api itu. Karena itu, maka sekali lagi ia mencoba meyakinkan, “Kakang, aku hanya memerlukan waktu sedikit saja. Apakah pintu ini sudah diselarak?”

“Aku bilang tidak. Apakah kau tidak mendengar?”

Wiyatsih menarik nafas dalam-dalam. “Baiklah kakang, jika demikian, biarlah aku pergi sendiri mencarinya. Ia sangat berbahaya”

Sejenak Wiyatsih terdiam. Tetapi ia tidak mendengar kakaknya menyahut. Karena itu, maka ia pun kemudian bergeser sedikit.

“Wiyatsih” tiba-tiba ia mendengar suara kakaknya. sejenak kemudian maka Wiyatsih mendengar langkah kaki kakaknya dan pintu bilik itupun terbuka.

“Cepatlah katakan, siapakah yang akan kau temui”

Agar kakaknya segera tertarik perhatiannya, maka dengan serta-merta ia menjawab, “Hantu Bertangan Api”

“He?” wajah Pikatan menjadi tegang, serta nafasnya seakan-akan tertahan di hidungnya. Dengan suara yang dalam ia bertanya, “Hantu Bertangan Api?”

“Ya, Hantu Bertangan Api”

Pikatan berdiri sejenak mematung didepan pintu biliknya. Ditatapnya Wiyatsih dengan sorot mata yang aneh. Dari sela-sela bibirnya seolah-olah diluar sadarnya Pikatan bertanya, “Darimana kau tahu tentang Hantu Bertangan Api?”

“Orang itu sendiri yang mengatakan”

Bersambung ke bagian 2

Tinggalkan komentar